PERAN
PENDIDIKAN DALAM MULTIKULTURALISME
BAB I
PENDAHULUAN
MULTIKULTURALISME DAN PENDIDIKAN
MULTIKULTURAL
A. Latar Belakang Masalah
Sedikitnya selama tiga dasawarsa, kebijakan yang
sentralistis dan pengawalan yang ketat terhadap isu perbedaan telah menghilangkan
kemampuan masyarakat untuk memikirkan, membicarakan dan memecahkan persoalan
yang muncul dari perbedaan secara terbuka, rasional dan damai. Kekerasan antar
kelompok yang meledak secara sporadis di akhir tahun 1990-an di berbagai
kawasan di Indonesia menunjukkan betapa rentannya rasa kebersamaan
yang dibangun dalam Negara-Bangsa, betapa kentalnya prasangka antara kelompok
dan betapa rendahnya saling pengertian antar kelompok. Konteks global setelah
tragedi September 11 dan invasi Amerika Serikat ke Irak serta hiruk pikuk
politis identitas di dalam era reformasi menambah kompleknya persoalan
keragaman dan antar kelompok di Indonesia.
B. Rumusan Masalah
Dari beberapa uraian dalam latar belakang masalah
dapat kami ambil beberapa rumusan masalah yang akan kami sajikan dalam
pembahasan diantaranya adalah :
1. Berbagai fenomena yang
terdapat dalam pendidikan multikulturalisme
2. Bagaimanakah perjalanan
pendidikan kulturalisme dan wacana pendidikan multikultural seiring dengan
perkembangan zaman
3. Apakah wacana multikulturalisme dan pendidikan multikultural di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah dan Fenomena Tentang
Pendidikan Kulturalisme
Sejarah menunjukkan, pemaknaan secara negatif atas
keragaman telah melahirkan penderitaan panjang umat manusia. Pada saat ini, paling tidak telah terjadi 35 pertikaian besar antar
etnis di dunia. Lebih dari 38 juta jiwa terusir dari tempat yang mereka diami,
paling sedikit 7 juta orang terbunuh dalam konflik etnis berdarah.Pertikaian seperti ini terjadi dari Barat sampai Timur, dari Utara
hingga Selatan. Dunia menyaksikan darah mengalir dari Yugoslavia, Cekoslakia,
Zaire hingga Rwanda, dari bekas Uni Soviet sampai Sudan, dari Srilangka, India
hingga Indonesia. Konflik panjang tersebut melibatkan sentimen etnis, ras, golongan
dan juga agama.
Merupakan kenyataan yang tak bisa
ditolak bahwa negara-bangsa Indonesia terdiri dari berbagai kelompok etnis,
budaya, agama dan lain-lain sehingga negara-bangsa Indonesia secara sederhana
dapat disebut sebagai masyarakat "multikultural". Tetapi pada pihak
lain, realitas "multikultural" tersebut berhadapan dengan kebutuhan
mendesak untuk merekonstruksi kembali "kebudayaan nasional Indonesia"
yang dapat menjadi "integrating force" yang mengikat seluruh
keragaman etnis dan budaya tersebut.
Perbedaan budaya merupakan sebuah
konduksi dalam hubungan interpersonal. Sebagai contoh ada yang orang yang bila
diajak bicara (pendengar) dalam mengungkapkan perhatiannya cukup dengan
mengangguk-anggukan kepala sambil berkata "uh. huh". Namun dalam kelompok
lain untuk menyatakan persetujuan cukup dengan mengedipkan kedua matanya. Dalam
beberapa budaya, individu-individu yang berstatus tinggi biasanya yang
memprakarsai, sementara individu yang statusnya rendah hanya menerima saja
sementra dalam budaya lain justru sebaliknya.
Beberapa psikolog menyatakan
bahwa budaya menunjukkan tingkat intelegensi masyarakat. Sebagai contoh,
gerakan lemah gemulai merupakan ciri utama masyarakat Bali. Oleh karena
kemampuannya untuk menguasai hal itu merupakan ciri dari tingkat
intelligensinya. Sementara manipulasi dan rekayasa kata dan angka menjadi
penting dalam masyarakat Barat. Oleh karenanya "keahlian" yang
dimiliki seseorang itu menunjukkan kepada kemampuan intelligensinya.
Paling tidak ada tiga kelompok
sudut pandang yang biasa berkembang dalam menyikapi perbedaan identitas
kaitannya dengan konflik yang sering muncul. Pertama, pandangan primordialis.
Kelompok ini menganggap, perbedaan-perbedaan yang berasal dari genetika seperti
suku, ras (dan juga agama) merupakan sumber utama lahirnya benturan-benturan
kepentingan etnis maupun agama. Kedua, pandangan kaum instrumentalis. Menurut
mereka, suku, agama dan identitas yang lain dianggap sebagai alat yang
digunakan individu atau kelompok untuk mengejar tujuan yang lebih besar, baik
dalam bentuk metril maupun non-materiil. Konsepsi ini lebih banyak digunakan
oleh politisi dan para elit untuk mendapatkan dukungan dari kelompok identitas.
Dengan meneriakkan "Islam" misalnya, diharapkan semua orang Islam
merapatkan barisan untuk mem-back up kepentingan politiknya. Oleh karena itu,
dalam pandangan kaum instrumentalis, selama setiap orang mau mengalah dari
prefence yang dikehendaki elit, selama itu pula benturan antar kelompok
identitas dapat dihindari bahkan tidak terjadi. Ketiga, kaum konstruktivis,
yang beranggapan bahwa identitas kelompok tidak bersifat kaku, sebagaimana yang
dibayangkan kaum primordialis. Etnisitas, bagi kelompok ini, dapat diolah
hingga membentuk jaringan relasi pergaulan sosial. Karenanya, etnisitas merupakan
sumber kekayaan hakiki yang dimiliki manusia untuk saling mengenal dan
memperkaya budaya. Bagi mereka, persamaan adalah anugrah dan perbedaan adalah
berkah.
Dalam konteks pendapat yang
ketiga, terdapat ruang wacana tentang multikulturalisme dan pendidikan
multikultural sebagai sarana membangun toleransi atas keragaman. Wacana ini
mulai ramai terdengar di kalangan akademis, praktisi budaya dan aktifis di awal
tahun 2000 di Indonesia.
Tulisan ini dimaksudkan sebagai
kajian tentang multikulturalisme dan pendidikan multikultural sebagai bahan
kajian lanjutan untuk mengetahui corak, peluang dan tantangan pendidikan
multikultural di Indonesia.
B. Perjalanan
Multikulturalisme dan Wacana Pendidikan Multikultural
Konsep pendidikan multikultural
di negara-negara yang menganut konsep demokratis seperti Amerika Serikat dan
Kanada, bukan hal baru lagi. Mereka telah melaksanakannya khususnya dalam dalam
upaya melenyapkan diskriminasi rasial antara orang kulit pulit dan kulit hitam,
yang bertujuan memajukan dan memelihara integritas nasional.
Pendidikan multikultural mengakui adanya keragaman
etnik dan budaya masyarakat suatu bangsa, sebagaimana dikatakan R. Stavenhagen:
Religious, linguistic, and national minoritas, as well as indigenous and tribal
peoples were often subordinated, sometimes forcefully and against their will,
to the interest of the state and the dominant society. While many people... had
to discard their own cultures, languages, religions and traditions, and adapt
to the alien norms and customs that were consolidated and reproduced through
national institutions, including the educational and legal system.
Di Amerika, sebagai contohnya muncul serangkaian
konsep tentang pluralitas yang berbeda-beda, mulai dari melting pot sampai
multikulturalisme. Sejak Columbus menemukan benua Amerika, berbagai macam
bangsa telah menempati benua itu. Penduduk yang sudah berada
di sana sebelum bangsa-bangsa Eropa membentuk koloni-koloni mereka di
Amerika Utara, terdiri dari berbagai macam suku yang berbeda-beda bahasa dan
budayanya. Tetapi di mata bangsa Anglo-Sakson yang menyebarkan koloni di abad
ke-17, tanah di Negara baru itu ada kawasan tak bertuan dan bangsa-bangsa yang
ditemui di benua baru itu tak lebih dari makhluk primitif yang merupakan bagian
dari alam yang mesti ditaklukkan. Dari perspektif kaum Puritan yang menjadi
acuan utama sebagian besar pendatang dari Inggris tersebut, berbagai suku
bangsa yang dilabel secara generik dengan nama "Indian" adalah bangsa
kafir pemuja dewa yang membahayakan kehidupan komunitas berbasis agama
tersebut. Di sini terlihat bagaimana pandangan berperspektif tunggal yang
datang dari budaya tertentu membutakan mata terhadap kenyataan keragaman yang
ada.
Amerika Serikat ketika ingin membentuk masyarakat
baru-pasca kemerdekaannya (4 Juli 1776) baru disadari bahwa masyarakatnya
terdiri dari berbagai ras dan asal negara yang berbeda. Oleh karena itu, dalam
hal ini Amerika mencoba mencari terobosan baru yaitu dengan menempuh strategi
menjadikan sekolah sebagai pusat sosialisasi dan pembudayaan nilai-nilai baru
yang dicita-citakan. Melalui pendekatan inilah, dari Sd sampai Perguruan
Tinggi, Amerika Serikat berhasil membentuk bangsanya yang dalam perkembangannya
melampaui masyarakt induknya yaitu Eropa. Kaitannya dengan nilai-nilai
kebudayaan yang perlu diwariskan dan dikembangkan melalui sistem pendidikan
pada suatu masyarakat, maka Amerika Serikat memakai sistem demokrasi dalam
pendidikan yang dipelopori oleh John Dewey. Intinya adalah toleransi tidak
hanya diperuntukkan untuk kepentingan bersama akan tetapi juga menghargai
kepercayaan dan berinteraksi dengan anggota masyarakat.
Multikulturalisme secara etimologis marak digunakan
pada tahun 1950-an di Kanada. Menurut Longer Oxford Dictionary istilah
"multiculturalism" merupakan deviasi dari kata "multicultural"
Kamus ini menyitir kalimat dari surat kabar Kanada, Montreal Times
yang menggambarkan masyarakat Montreal sebagai masyarakat
"multicultural dan multi-lingual".
Sedangkan wacana tentang pendidikan multikultural,
secara sederhana pendidikan multikultural dapat didefenisikan sebagai
"pendidikan untuk/tentang keragaman kebudayaan dalam meresponi perubahan
demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara
keseluruhan".
Hal ini sejalan dengan pendapat Paulo Freire, pendidikan
bukan merupakan "menara gading" yang berusaha menjauhi realitas
sosial dan budaya. Pendidikan menurutnya, harus mampu menciptakan tatanan
masyarakat yang terdidik dan berpendidikan, bukan sebuah masyarakat yang hanya
mengagungkan prestise sosial sebagi akibat kekayaan dan kemakmuran yang
dialaminya.
Pendidikan multikultural (multicultural education)
merupakan respon terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana
tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok. Dalam dimensi lain, pendidikan
multikultural merupakan pengembangan kurikulum dan aktivitas pendidikan untuk
memasuki berbagai pandangan, sejarah, prestasi dan perhatian terhadap
orang-orang non Eropa (Hilliard, 1991-1992). Sedangkan secara luas pendidikan
multikultural itu mencakup seluruh siswa tanpa membedakan kelompok-kelompoknya
seperti gender, etnic, ras, budaya, strata sosial dan agama.
Selanjutnya James Banks (1994) menjelaskan bahwa
pendidikan multikultural memiliki lima dimensi yang saling berkaitan:
v Content integration
Mengintegrasikan
berbagai budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep mendasar,
generalisasi dan teori dalam mata pelajaran/disiplin ilmu.
v The Knowledge Construction Process
Membawa
siswa untuk memahami implikasi budaya ke dalam sebuah mata pelajaran (disiplin)
v An Equity Paedagogy
Menyesuaikan
metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi
akademik siswa yang beragam baik dari segi ras, budaya ataupun sosial.
v Prejudice Reduction
Mengidentifikasi
karakteristik ras siswa dan menentukan metode pengajaran mereka
v Melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam kegiatan
olahraga, berinteraksi dengan seluruh staff dan siswa yang berbeda etnis dan
ras dalam upaya menciptakan budaya akademik.
Dalam aktifitas pendidikan manapun, peserta didik
merupakan sasaran (obyek) dan sekaligus sebagai subyek pendidikan. Oleh sebab
itu dalam memahami hakikat peserta didik, para pendidik perlu dilengkapi
pemahaman tentang ciri-ciri umum peserta didik. Setidaknya secara umum peserta
didik memiliki lima ciri yaitu;
1. Peserta didik dalan keadaan sedang berdaya, maksudnya ia dalam keadaan
berdaya untuk menggunakan kemampuan, kemauan dan sebagainya.
2. Mempunyai keinginan untuk berkembang ke arah dewasa.
3. Peserta didik mempunyai latar belakang yang berbeda.
4. Peserta didik melakukan penjelajahan terhadap alam sekitarnya dengan
potensi-potensi dasar yang dimiliki secara individu.
Menurut Tilaar, pendidikan multikultural berawal dari
berkembangnya gagasan dan kesadaran tentang "interkulturalisme"
seusai perang dunia II. Kemunculan gagasan dan kesadaran
"interkulturalisme" ini selain terkait dengan perkembangan politik
internasional menyangkut HAM, kemerdekaan dari kolonialisme, dan diskriminasi
rasial dan lain-lain, juga karena meningkatnya pluralitas di negara-negara
Barat sendiri sebagai akibat dari peningkatan migrasi dari negara-negara baru
merdeka ke Amerika dan Eropa.
Mengenai fokus pendidikan multikultural, Tilaar
mengungkapkan bahwa dalam program pendidikan multikultural, fokus tidak lagi diarahkan
semata-mata kepada kelompok rasial, agama dan kultural domain atau mainstream.
Fokus seperti ini pernah menjadi tekanan pada pendidikan interkultural yang
menekankan peningkatan pemahaman dan toleransi individu-individu yang berasal
dari kelompok minoritas terhadap budaya mainstream yang dominan, yang pada
akhirnya menyebabkan orang-orang dari kelompok minoritas terintegrasi ke dalam
masyarakat mainstream. Pendidikan multikultural sebenarnya merupakan sikap
"peduli" dan mau mengerti (difference), atau "politics of
recognition" politik pengakuan terhadap orang-orang dari kelompok
minoritas.
Dalam konteks itu, pendidikan multikultural melihat
masyarakat secara lebih luas. Berdasarkan pandangan dasar bahwa sikap
"indiference" dan "Non-recognition" tidak hanya berakar
dari ketimpangan struktur rasial, tetapi paradigma pendidikan multikultural
mencakup subjek-subjek mengenai ketidakadilan, kemiskinan, penindasan dan
keterbelakangan kelompok-kelompok minoritas dalam berbagai bidang: sosial,
budaya, ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya. Paradigma seperti ini akan
mendorong tumbuhnya kajian-kajian tentang 'ethnic studies" untuk kemudian
menemukan tempatnya dalam kurikulum pendidikan sejak dari tingkat dasar sampai
perguruan tinggi. Tujuan inti dari pembahasan tentang subjek ini adalah untuk
mencapai pemberdayaan (empowerment) bagi kelompok-kelompok minoritas dan
disadventaged.
Istilah "pendidikan multikultural" dapat
digunakan baik pada tingkat deskriftif dan normatif, yang menggambarkan isu-isu
dan masalah-masalah pendidikan yang berkaitan dengan masyarakat multikultural.
Lebih jauh ia juga mencakup pengertian tentang pertimbangan terhadap
kebijakan-kebijakan dan strategi-strategi pendidikan dalam masyarakat
multikultural. Dalam konteks deskriftif ini, maka kurikulum pendidikan
multikultural mestilah mencakup subjek-subjek seperti: toleransi; tema-tema
tentang perbedaan ethno-kultural dan agama: bahaya diskriminasi: penyelesaian
konflik dan mediasi: HAM; demokratis dan pluralitas; kemanusiaan universal dan subjek-subjek
lain yang relevan.
Dalam konteks teoritis, belajar dari model-model
pendidikan multikultural yang pernah ada dan sedang dikembangkan oleh
negara-negara maju, dikenal limapendekatan, yaitu: pertama, pendidikan
mengenai perbedaan-perbedaan kebudayaan atau multikulturalisme. Kedua,
pendidikan mengenai perbedaan-perbedaan kebudayaan atau pemahaman kebudayaan.
Ketiga, pendidikan bagi pluralisme kebudayaan. Keempat pendidikan dwi-budaya.
Kelima, pendidikan multikultural sebagai pengalaman moral manusia.
C. Wacana Multikulturalisme dan Pendidikan multikultural
di Indonesia
Di Indonesia, pendidikan multikultural relatif baru
dikenal sebagai suatu pendekatan yang dianggap lebih sesuai bagi
masyarakat Indonesia yang heterogen, terlebih pada masa otonomi dan
desentralisasi yang baru dilakukan. Pendidikan multikultural yang dikembangkan
di Indonesia sejalan pengembangan demokrasi yang dijalankan sebagai
counter terhadap kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Apabila hal itu
dilaksanakan dengan tidak berhati-hati justru akan menjerumuskan kita ke dalam
perpecahan nasional.
Menurut Azyumardi Azra, pada level nasional,
berakhirnya sentralisme kekuasan yang pada masa orde baru memaksakan
"monokulturalisme" yang nyaris seragam, memunculkan reaksi balik, yang
bukan tidak mengandung implikasi-implikasi negatif bagi rekonstruksi kebudayaan
Indonesia yang multikultural. Berbarengan dengan proses otonomisasi dan dan
desentralisasi kekuasaan pemerintahan, terjadi peningkatan gejala
"provinsialisme" yang hampir tumpang tindih dengan
"etnisitas". Kecenderungan ini, jika tidak terkendali akan dapat
menimbulkan tidak hanya disintegrasi sosio-kultural yang amat parah, tetapi
juga disintegrasi politik.
Model pendidikan di Indonesia maupun di
negara-negara lain menunjukkan keragaman tujuan yang menerapkan strategi dan
sarana yang dipakai untuk mencapainya. Sejumlah kritikus melihat bahwa revisi
kurikulum sekolah yang dilakukan dalam program pendidikan multikultural di
Inggris dan beberapa tempat diAustralia dan Kanada, terbatas pada
keragaman budaya yang ada, jadi terbatas pada dimensi kognitif.
Penambahan informasi tentang keragaman budaya
merupakan model pendidikan multikultural yang mencakup revisi atau materi
pembelajaran, termasuk revisi buku-buku teks. Terlepas dari kritik atas
penerapnnya di beberapa tempat, revisi pembelajaran seperti di Amerika Serikat
merupakan strategi yang dianggap paling penting dalam reformasi pendidikan dan
kurikulum. Penulisan kembali sejarah Amerika dari perspektif yang lebih beragam
meruapakan suatu agenda pendidikan yang diperjuangkan intelektual, aktivis dan
praktisi pendidikan. Di Jepang aktivis kemanusiaan melakukan advokasi serius
untuk merevisi buku sejarah, terutama yang menyangkut peran Jerpang pada perang
dunia II di Asia. Walaupun belum diterima, usaha ini sudah mulai membuka mata
sebagian masyarakat akan pentingnya perspektif baru tentang perang, agar
tragedi kemanusiaan tidak terulang kembali. Sedangkan di Indonesia masih
diperlukan usaha yang panjang dalam merevisi buku-buku teks agar mengakomodasi
kontribusi dan partisipasi yang lebih inklusif bagi warga dari berbagai
latarbelakang dalam pembentukan Indonesia. Indonesia juga
memerlukan pula materi pembelajaran yang bisa mengatasi "dendam
sejarah" di berbagai wilayah.
Model lainnya adalah pendidikan multikultural tidak
sekedar merevisi materi pembelajaran tetapi melakukan reformasi dalam sistem
pembelajaran itu sendiri. Affirmative action dalam seleksi siswa sampai
rekrutmen pengajar di Amerika adalah salah satu strategi untuk membuat
perbaikan ketimpangan struktural terhadap kelompok minoritas. Contoh yang lain
adalah model "sekolah pembauran" Iskandar Muda di Medan yang
memfasilitasi interaksi siswa dari berbagai latar belakang budaya dan menyusun
program anak asuh lintas kelompok. Di Amerika Serikat bersamaan dengan amsuknya
wacana multikulturalisme, dilakukan berbagai lokakarya di sekolah-sekolah
maupun di masyarakt luas untuk meningkatkan kepekaan sosial, toleransi dan
mengurangi prasangka antar kelompok.
Untuk mewujudkan model-model tersebut, pendidikan
multikultural di Indonesia perlu memakai kombinasi model yang ada, agar seperti
yang diajukan Gorski, pendidikan multikultural dapat mencakup tiga hal jenis
transformasi, yakni: (1) transformasi diri; (2) transformasi sekolah dan proses
belajar mengajar, dan (3) transformasi masyarakat.
Menyusun pendidikan multikultural dalam tatanan
masyarakat yang penuh permasalahan anatar kelompok mengandung tantangan yang
tidak ringan. Pendidikan multikultural tidak berarti sebatas "merayakan keragaman"
belaka. Apalagi jika tatanan masyarakat yang ada masih penuh diskriminasi dan
bersifat rasis. Dapat pula dipertanyakan apakah mungkin meminta siswa yang
dalam kehidupan sehari-hari mengalami diskriminasi atau penindasan karena warna
kulitnya atau perbedaannya dari budaya yang dominan tersebut? Dalam kondisi
demikian pendidikan multikultural lebih tepat diarahkan sebagai advokasi untuk
menciptakan masyarakat yang toleran dan bebas toleransi.
Ada beberapa pendekatan dalam proses pendidikan
multikultural, yaitu:
Pertama, tidak lagi terbatas pada menyamakan pandangan
pendidikan (education) dengan persekolahan (schooling) atan pendidikan
multikultural dengan program-program sekolah formal. Pandangan yang lebih luas
mengenai pendidikan sebagai transmisi kebudayaan membebaskan pendidik dari
asumsi bahwa tanggung jawab primer menegmbangkan kompetensi kebudayaan di
kalangan anak didik semata-mata berada di tangan mereka dan justru semakin
banyak pihak yang bertanggung jawab karena program-program sekolah seharusnya
terkait dengan pembelajaran informal di luar sekolah.
Kedua, menghindari pandangan yang menyamakan kebudayaan
kebudayaan dengan kelompok etnik adalah sama. Artinya, tidak perlu lagi
mengasosiasikan kebudayaan semata-mata dengan kelompok-kelompok etnik
sebagaimana yang terjadi selama ini. secra tradisional, para pendidik
mengasosiasikan kebudayaan hanya dengan kelompok-kelompok sosial yang relatif
self sufficient, ketimbang dengan sejumlah orang yang secara terus menerus dan
berulang-ulang terlibat satu sama lain dalam satu atau lebih kegiatan. Dalam
konteks pendidikan multikultural, pendekatan ini diharapkan dapat mengilhami
para penyusun program-program pendidikan multikultural untuk melenyapkan
kecenderungan memandang anak didik secara stereotip menurut identitas etnik
mereka dan akan meningkatkan eksplorasi pemahaman yang lebih besar mengenai
kesamaan dan perbedaan di kalangan anak didik dari berbagai kelompok etnik.
Ketiga, karena pengembangan kompetensi dalam suatu
"kebudayaan baru" biasanya membutuhkan interaksi inisiatif dengan
orang-orang yang sudah memiliki kompetensi, bahkan dapat dilihat lebih jelas
bahwa uapaya-upaya untuk mendukung sekolah-sekolah yang terpisah secara etnik
adalah antitesis terhadap tujuan pendidikan multikultural. Mempertahankan dan
memperluas solidarits kelompok adalah menghambat sosialisasi ke dalam
kebudayaan baru. Pendidikan bagi pluralisme budaya dan pendidikan multikultural
tidak dapat disamakan secara logis.
Keempat, pendidikan multikultural meningkatkan kompetensi
dalam beberapa kebudayaan. Kebudayaan mana yang akan diadopsi ditentukan oleh
situasi.
Kelima, kemungkinan bahwa pendidikan bahwa pendidikan (baik
dalam maupun luar sekolah) meningkatkan kesadaran tentang kompetensi dalam
beberapa kebudayaan. Kesadaran seperti ini kemudian akan menjauhkan kita dari
konsep dwi budaya atau dikhotomi antara pribumi dan non-pribumi. Dikotomi
semacam ini bersifat membatasi individu untuk sepenuhnya mengekspresikan
diversitas kebudayaan. Pendekatan ini meningkatkan kesadaran akan
multikulturalisme sebagai pengalaman normal manusia. Kesadaran ini mengandung
makna bahwa pendidikan multikultural berpotensi untuk menghindari dikotomi dan
mengembangkan apresiasi yang lebih baik melalui kompetensi kebudayaan yang ada
pada diri anak didik.
Dalam konteks keindonesiaan dan kebhinekaan, kelima
pendekatan tersebut haruslah diselaraskan dengan kondisi masyarakat Indonesia.
Masyarakat adalah kumpulan manusia atau individu-individu yang terjewantahkan
dalam kelompok sosial dengan suatu tantangan budaya atau tradisi tertentu.
Pendapat ini juga dikemukakan oleh Zakiah Darajat yang menyatakan, bahwa
masyarakat secara sederhana diartikan sebagai kumpulan individu dan kelompok
yang diikat oleh kesatuan negara, kubudayaan dan agama.
Jadi dapat dipahami inti masyarakat adalah kumpulan
besar individu yang hidup dan bekerja sama dalam masa relatif lama, sehingga
individu-individu dapat memenuhi kebutuhan mereka dan menyerap watak sosial.
Kondisi itu selanjutnya membuat sebagian mereka menjadi komunitas terorganisir
yang berpikir tentang dirinya dan membedakan ekstensinya dari ekstensi
komunitas. Dari sisi lain, apabila kehidupan di dalam masyarakat berarti
interaksi antara individu dan lingkungan sosialnya. Maka yang menjadikan
pembentukan individu tersebut adalah pendidikan atau dengan istilah lain
masyarakat pendidik.
Oleh karena itu, dalam melakukan kajian dasar
kependidikan terhadap masyarakat. Secara garis besar
dasar-dasar yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1). Masyarakat tidak ada dengan sendirinya. Masyarakat
adalah ekstensi yang hidup, dinamis, dan selalu berkembang.
2). Masyarakat bergantung pada upaya setiap individu untuk memenuhi
kebutuhan melalui hubungan dengan individu lain yang berupaya memenuhi
kebutuhan.
3). Individu-individu, di dalam berinteraksi dan berupaya bersama guna
memenuhi kebutuhan, melakukan penataan terhadap upaya tersebut dengan jalan apa
yang disebut tantangan sosial.
4). Setiap masyarakat bertanggung jawab atas pembentukan pola tingkah laku
antara individu dan komunitas yang membentuk masyarakat.
5). Pertumbuhan individu di dalam komunitas, keterikatan dengannya, dan
perkembangannya di dalam bingkai yang memnuntunya untuk bertanggung jawab
terhadap tingkah lakunya.
Bila penjelasan di atas ditarik
di dalam dunia pendidikan, maka masyarakat sangat besar peranan dan pengaruhnya
terhadap perkembangan intelektual dan kepribadian individu peserta didik. Sebab
keberadaan masyarakat merupakan laboratorium dan sumber makro yang penuh
alternatif untuk memperkaya pelaksanaan proses pendidikan.
Untuk itu, setiap anggota
masyarakat memiliki peranan dan tanggung jawab moral terhadap terlaksananya
proses pendidikan. Hal ini disebabkan adanya hubungan timbal balik antara
masyarakat dan pendidikan. Dalam upaya memberdayakan masyarakat dalam dunia
pendidikan merupakan satu hal penting untuk kemajuan pendidikan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pendidikan multikultural adalah
suatu pendekatan progresif untuk melakukan transformasi pendidikan yang secara
menyeluruh membongkar kekurangan, kegagalan dan praktik-praktik diskriminatif
dalam proses pendidikan.
Pendidikan multikultural
didasarkan pada gagasan keadilan sosial dan persamaan hak dalam pendidikan.
Sedangkan dalam doktrin Islam sebenarnya tidak membeda-bedakan etnik, ras dan
lain sebagainya dalam pendidikan. Manusia semuanya adalah sama, yang
membedakannya adalah ketakwaan mereka kepada Allah SWT. Dalam Islam, pendidikan
multikultural mencerminkan bagaimana tingginya penghargaan Islam terhadap ilmu
pengetahuan dan tidak ada perbedaan di antara manusia dalam bidang ilmu.
Pendidikan multikultural
seyogyanya memfasilitasi proses belajar mengajar yang mengubah perspektif
monokultural yang esensial, penuh prasangka dan diskriminatif ke perspektif
multikulturalis yang menghargai keragaman dan perbedaan, toleran dan sikap
terbuka. Perubahan paradigma semacam ini menuntut transformasi yang tidak
terbatas pada dimensi kognitif belaka.
Dunia pendidikan tidak boleh
terasing dari perbincangan realitas multikultural tersebut. Bila tidak
disadari, jangan-jangan dunia pendidikan turut mempunyai andil dalam
menciptakan ketegangan-ketegangan sosial. Oleh karena itu, di tengah gegap
gempita lagu nyaring "tentang kurikulum berbasis kompetensi", harus
menyelinap dalam rasionalitas kita bahwa pendidikan bukan hanya sekedar
mengajarkan "ini" dan "itu", tetapi juga mendidik anak kita
menjadi manusia berkebudayaan dan berperadaban. Dengan demikian, tidak saatnya
lagi pendidikan mengabaikan realitas kebudayaan yang beragam tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Amir, Muhammad, Konsep Masyarakat
Islam, Jakarta, Fikanati, Aneska, 1992.
Analisis CSIS, tahun XXX/2001, No. 3
DEPAG RI dan IRD, Majalah:
Inovasi Kurikulum: Kurikulum Berbasis Multikulturalism, Edisi IV, Tahun 2003
Jalaluddin, Teologi Pendidikan,
Jakarta, PT Raja Grafindo, 2001, cet I
Nita E. Woolfolk, educational Psychology: Seventh
Edition, The Ohio State Universiy, 1998
Soedijarto, Pendidikan Nasional sebagai Wahana
mencerdaskan kehidupan Bangsa dan Membangun Peradaban
Negara-Bangsa, Jakarta, CINAPS, 2000, cet. I
Stavenhagen, Rudolfo, "Education for a
Multikultural world", in Jasque Delors (et all), Learning: the treasure
within, Paris, UNESCO, 1996
Tilaar, H. A. R, Perubahan Sosial dan Pendidikan:
Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia, Jakarta, Grasindo,
2002
Comments
Post a Comment